Jumat, 24 Juni 2011

Merasa Suci Lalu Berdosa Lagi


Adalah al-Manshur bin Ammar RHM ditanya oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, “Wahai Manshur, ada masalah yang mengganjal sejak setahun ini, siapakah sebenarnya orang yang paling pintar, siapa pula orang yang paling bodoh?”
Al-Manshur pun keluar menemui para ulama untuk mendapatkan jawabannya, lalu ia menghadap kepada Abdul Malik. Sang Khalifah bertanya, “Wahai Manshur, jawaban apa yang kamu bawa?”
Beliau berkata, “Wahai amirul mikminin, orang yang paling berakal adalah orang yang berbuat baik, namun dia tetap merasa takut kepada Allah, sedangkan orang yang paling bodoh adalah orang yang mengumbar dosa, namun merasa aman dari siksa Allah.”
Jawaban itu membuat Abdul Malik menangis, hingga air mata membasahi bajunya, “Demi Allah, ini jawaban yang bagus wahai Manshur.” Sahutnya.
Merasa Suci, Padahal Belum Pasti
Fragmen nyata yang terjadi di zaman salaf tersebut tampaknya relevan dengan situasi kita yang telah melewati hari demi hari selama Ramadhan. Banyak peluang kebaikan, bertabur pula harapan pahala dan pengampunan. Bervariasi jenis dan kadar amal shalih yang dilakukan masing-masing orang, dan beragam pula tingkat kepuasan para pelaku amal. Ada yang sedih karena merasa belum optimal, namun tak sedikit yang merasa diri telah berjuang total.
Ada baiknya kita mengevaluasi diri sendiri. Tapi evaluasi yang jujur, muhasabah yang menimbulkan efek positif di kemudian hari. Bukan perhitungan orang yang tertipu, merasa diri panen pahala, ternyata pailit kenyataannya.
Apa yang disampaikan oleh al-Manshur tentang orang yang paling pintar dan orang yang paling bodoh, bisa kita jadikan rujukan mengaca diri, sejauh mana tingkat keshalihan kita. Apakah dekat dengan ring paling tinggi yang telah berbuat baik namun tetap merasa takut, ataukah lebih dekat dengan ring paling bawah, yang tak beres usahanya, namun merasa aman dari siksa.
Dengan berakhirnya ramadhan, banyak yang terkecoh dengan ungkapan kembali suci. Mereka merasa bersih dari dosa, begitu melewati ramadhan dan memasuki  ‘Iedul Fithri. Istilah ‘iedul fithri pun diartikan menjadi hari kembali suci. Makna ini perlu diteliti kembali. Karena Nabi SAW sendiri telah memberikan makna yang berbeda dari makna yang biasa dipahami khalayak. Beliau bersabda,
وَأَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ
“Dan adapun, (maksud) hari Fithri adalah hari berbuka kamu dari shaum.” (HR Abu Dawud dan dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan “dan hari raya bagi kaum muslimin.”)
Berharap Itu Harus, Tapi…
Memang janji Nabi SAW tidaklah dusta. Bahwa shalat malam di bulan Ramadhan menghapus dosa yang telah lalu, begitupun dengan shaum di siang harinya. Dan mungkin kitapun telah menjalani amalan itu dengan komplit. Kita harus berharap, agar semua ibadah kita diterima, dosa-dosa kitapun terampuni. Tapi kita juga perlu khawatir, sekiranya semua yang kita jalani belum memenuhi kriteria ‘maqbul’ sebagai amal shalih. Termasuk kebodohan, jika seseorang mengklaim sudah mengantongi banyak pahala, atau telah bersih dari dosa. Apalagi bila yang dilakukannya ternyata belum seberapa.
Klaim ini akan menimbulkan efek negatif di belakangnya. Bukan saja tidak ada upaya perbaikan dan peningkatan amal. Bahkan cenderung menganggap sepele dosa. Lantaran sudah bersih dari dosa, maka ia merasa masih berpeluang untuk berdosa.
Padahal, amal yang bisa menghapuskan dosa adalah amalan yang maqbul, diterima oleh Allah. Yakni amal yang benar dan juga ikhlas. Siapakah yang berani menjamin amalnya telah ikhlas dan tetap ikhlas? Karena keikhlasan itu harus dituntut adanya tak hanya sebelum dan ketika beramal saja. Bahkan setelah menjalani amal, dan batas akhirnya adalah ajalnya. Boleh jadi seseorang bisa ikhlas sesaat setelah beramal, namun di kemudian hari dia batalkan keikhlasannya dengan riya’, sum’ah maupun ujub. Maka amal yang telah lalu tidak diterima sebagai amal yang diterima dan tidak bisa berfaedah sebagai penghapus dosa. Maka sepantasnya kita tidak terpedaya dengan amal yang telah kita lakukan.
Mungkin inilah alasan sahabat Abdullah bin Umar yang meskipun telah beramal luar biasa, tetap saja mengatakan, “Andai saja aku tahu pasti, ada satu sujud (shalat) saya telah diterima, maka aku berangan-angan sekiranya aku mati sekarang juga.”
Lihat pula bagaimana jawaban Hatim al-Asham RHM, tatakala ditanya bagaimana cara beliau mendirikan shalat. Beliau menjawab,  “Apabila datang waktu shalat aku segera berwudlu dengan sempurna, lalu datang ketempat shalatku, akupun duduk mengkonsentrasikan seluruh jiwa ragaku, kemudian aku berdiri dengan ketundukan dan rendah diri, kujadikan ka’bah seakan diantara kedua mataku, titian shirat dibawah kedua telapak kakiku, surga disebelah kananku, dan neraka disebelah kiriku, malaikat maut dibelakangku, dan kubayangkan bahwa ini adalah shalat terakhirku, selanjutnya aku tempatkan diriku diantara rasa takut dan penuh pengharapan. Kemudian aku bertakbir dengan penuh keyakinan akan kebesaran Allah, lalu aku membaca al-Fatihah dan surat dengan sedalam-dalamnya penghayatan. Kemudian aku ruku’ dengan tuma’ninah, selanjutnya akupun sujud dengan segala rasa rendah diri, lalu aku duduk diatas pangkal paha kiriku, dan kutegakkan telapak kaki kananku diatas ibu jarinya, semua itu aku usahakan di atas keikhlasan hati setulus-tulusnya. Dan selanjutnya…aku tak tahu pasti, apakah shalatku itu diterima oleh Allah ataukah tidak!
Memaknai Amal Pendulang Pahala dan Penghapus Dosa
Orang yang hatinya tulus dalam mengabdi kepada Allah, juga jujur dalam memaknai nash-nash hadits dan ayat-ayat suci, pastilah memahami. Bahwa disebutkannya keutamaan suatu amal shalih dengan janji-janji pahala adalah supaya kita terdorong untuk melakukannya. Dan sama sekali bukan untuk meremehkan amal yang selainnya. Misalnya tentang keutamaan tahmid,
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ.
“Dan bacaan ‘alhamdulillah’ itu bisa memenuhi timbangan.” (HR Muslim)
Arahan hadits ini adalah untuk memperbanyak ucapan tahmid, sama sekali bukan untuk menafikan amalan lain. Atau karena merasa timbangan sudah penuh lantas menganggap kurang perlu amalan yang lain. Lebih parah lagi jika amal-amal yang wajib seperti shalat lima waktu juga ditinggalkan karenanya. Padahal, fadhilah tahmid tersebut, betapapun besar tidak bisa menutup kewajiban menjalankan shalat. Bahkan tanpa shalat, sama sekali fadhilah itu tidak berguna karena batas antara muslim dan kafir adalahmeninggalkan shalat.
Orang yang cerdik juga memahami, bahwa tujuan disebutkannya amal-amal yang berfaedah menghapus dosa adalah menghasung kita agar segera bertaubat dan membersihkan diri dari dosa. Bukan justru dijadikan alasan untuk menumpuk dosa baru dengan alasan dosa yang lalu telah terhapus.
Seperti hadits,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
Barangsiapa shalat di malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Jelas, bahwa inti pesan Nabi SAW tersebut supaya umatnya menjalankan shalat malam di bulan Ramadhan, bukan supaya melakukan maksiat setelah menjalankan shalat malam.
Lagi pula, menurut Imam an-Nawawi, juga ulama yang lain menyebutkan bahwa maksud dosa yang otomatis diampuni karena shalat tarawih tersebut adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Shalat tarawih tidak bisa menghapus dosa syirik secara otomatis, atau dosa meninggalkan shalat lima waktu, apalagi menggantikannya. Hanya orang bingung yang mengandalkan shalat tarawih lalu meninggalkan shalat wajibnya.
Mohon Ampunan-Nya, Tapi Sengaja Memancing Murka
Selain terpedaya oleh amal penghapus dosa, ada juga yang salah dalam memahami makna istighfar. Begitu mudah seseorang melakukan dosa, karena merasa mudah pula untuk menebusnya. Cukup dengan bacaan istighfar, serta merta dosanya lenyap seketika.
Orang yang merasa telah bersih dari dosa, lalu menyengaja berbuat dosa, hakikatnya adalah seorang pembangkang dan durjana. Dia menyalahartikan pengampunan Allah dan menggunakannya sebagai pemicu untuk berbuat dosa. Dia sengaja memancing kemurkaan Allah dengan dosa, lalu menyandarkan alasannya pada kasih sayang Allah dan kemurahan ampunanNya. Alangkah tidak sopannya kepada Allah, dan amat jauhlah ia dari sifat pengagungan kepada Allah.
Bukankah anak dikatakan durhaka bila sengaja membuat jengkel ayahnya, atau memancing kemarahannya, lantaran dia tahu bahwa sang ayah sangat penyabar dan suka memaafkan kesalahannya? Lantas bagaimana jika perilaku seperti itu dilakukan terhadap Allah Azza wa Jalla?
Istighfar adalah realisasi taubat yang wajib disertai tekad untuk tidak mengulangi dosa kembali. Tanpanya, taubatnya hanya bohong belaka. Semoga Allah menjauhkan kita dari dosa yang kita sengaja, dan mengampuni dosa yang tidak kita sengaja atau tidak kita ketahui. Amien. (Abu Umar Abdillah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar