Jumat, 24 Juni 2011

SIAPAKAH MURJI'AH ITU?


Murji-ah itu ada tiga macam:
Golongan pertama adalah murji-ah di dalam masalah iman dan yang menolak taqdir, yaitu madzhab murji-ah yang dianut oleh Qodariyah dan Mu’tazilah.
Golongan kedua adalah murji-ah di dalam masalah iman dan Jabr, yaitu manusia itu di dalam segala perbuatan tidak berperan sama sekali karena semuanya terjadi atas takqir Alloh, yaitu madzhab murji-ah yang dianut oleh kelompok Jahmiyyah.
Golongan ketiga adalah golongan yang lain dengan golongan Qodariyah dan Jabariyyah.. mereka itu adalah golongan Al Yuunusiyyah, Al Ghossaaniyyah, Ats Tsaubaaniyyah dan Al Muroisiyyah.
Mereka itu dinamakan Murji-ah karena mereka mengakhirkan amalan dari iman, karena irjaa’ itu artinya adalah mengakhirkan. Kalau dikatakan:
أرجيته، وأرجأته
Maka artinya adalah aku telah mengakhirkannya

Sedangkan yang dimaksud dengan paham murji-ah dalam masalah iman itu adalah ada dua macam:
Pertama: Ghulaatul Murji-ah atau Al Murji-ah Al Mutakallimiin.
Kedua: Murji-atul Fuqohaa’.
Namun ada paham ketiga dalam masalah iman, yaitu orang-orang yang berpendapat bahwasanya iman itu hanyalah perkataan. Penganut paham semacam ini tidak dikenal sama sekali sebelum Al Karoomiyyah.
 Adapun Al Murji-ah Al Mutakallimuun: adalah paham yang dianut oleh Jahm bin Shofwaan dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka berpendapat: bahwasanya iman itu hanyalah berupa at tashdiiq (kepercayaan) dan al ‘ilmu (pengetahuan) hati, dan mereka menganggap bahwasanya amalan hati itu tidak termasuk dalam pengertian iman. Mereka menganggap bahwasanya bisa saja seseorang itu dengan hati ia beriman secara sempur namun ia mencela Alloh dan RosulNya, memusuhi wali-wali Alloh, berwala’ (loyal) kepada musuh-musuh Alloh, menghancurkan masjid, mengina Al Qur’an dan orang-orang beriman dengan sehina-hinanya dan memuliakan orang-orang kafir dengan setinggi-tingginya. Mereka berpendapat bahwasanya ini semua adalah hanya sekedar kemaksiatan yang tidak sampai membatalkan iman yang berada di dalam hatinya, akan tetapi ia melakukan perbuatan itu semua namun pada hakekatnya di sisi Alloh ia adalah orang yang beriman.
Mereka berpendapat bahwasanya mereka diberlakukan sebagai orang-orang kafir hanyalah di dunia saja, karena perkataan-perkataan yang ia ucapkan tersebut hanyalah merupakan tanda dari kekafiran.
Namun ketika disampaikan kepada mereka dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah kafir dan disiksa di naar (neraka) mereka menjawab: Ini adalah sebuah pertanda bahwa at tashdiiq (keparcayaan) dan al ‘ilmu (pengetahuan) dalam hatinya telah hilang. Karena kekafiran itu menurut mereka adalah satu kesatuan, yaitu al jahlu (kebodohan / ketidak tahuan), dan iman itu adalah satu kesatuan yaitu al ‘ilmu (pengetahuan).
Atau bahwasanya kekafiran itu adalah takdziib (kedustaan / ketidakpercayaan) sedangkan iman adalah tashdiiq (kepercayaan). Karena mereka berselisih pendapat apakah tashdiiq (kepercayaan) hati itu lain dengan al ‘ilmu (pengetahuan) ataukah keduanya sama. Pendapat semacam ini meskipun merupakan pendapat yang paling rusak dalam masalah iman, namun banyak dari kalangan Ahlul Kalaam yang berfaham Murji-ah, dan salaf seperti Wakii’, Ahmad bin Hambal, Abu ‘Ubaid dan yanglain telah mengkafirkan orang-orang yang berpendapat semacam ini. Dan salaf mengatakan: Iblis itu kafir berdasarkan nash Al Qur’an, dan kekafirannya itu hanyalah lantaran ia sombong dan menolak untuk sujud kepada Adam, dan bukan lantaran mereka mendustakan berita. Dan begitu pula Fir’aun dan kaumnya. Alloh berfirman:
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلماً وعلواً
Dengan dholim dan sombong mereka menolaknya, sedangkan hati mereka meyakininya (An Naml: 14)
Dan Musa as mengatakan kepada Fir’aun:
لقد علمت ما أنزل هؤلاء إلا رب السموات والأرض بصائر
Engkau telah mengetahui mereka semua tidak menurukan keterangan apapun kecuali hanya (Alloh), robb langit dan bumi. (Al Isroo’: 102)
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Musa, seorang yang jujur dan terpercaya, kepada Fir’aun. Ini menunjukkan bahwasanya sesungguhnya Fir’aun itu telah mengetahui bahwasanya Alloh telah menurunkan ayat-ayat, sehingga Fir’aun itu adalah makhluq yang paling membangkang dan melampaui batas lantaran kerusakan niat dalam hatinya, dan bukan karena ia tidak mengetahui. Alloh SWT berfirman:
إن فرعون علا في الأرض وجعل أهلها شيعاً يستضعف طائفة منهم يذبح أبناءهم ويستحيي نساءهم إنه كان من المفسدين
Sesungguhnya Fir’aun telah berlaku sombong di muka bumi dan ia telah menjadikan penduduk bumi berkelompok-kelompok, yang mana sebagian kelompok ia tindas dan ia sembelih anak laki-laki mereka serta ia biarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun itu adalah termasuk orang-orang yang membuat kerusakan. (Al Qoshosh: 4)
Begitu pula orang-orang yahudi yang Alloh SWT sebutkan dalam firmanNya:
الذين آتيناهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون أبناءهم
Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka, mereka mengetahuinya sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. (Al Baqoroh: 146)
Dan begitu pula orang-orang musyrik yang Alloh terangkan di dalam firmanNya:
فإنهم لا يكذبونك ولكن الظالمين بآيات الله يجحدون
Karena sesungguhnya mereka itu tidaklah mendustakanmu, akan tetapi orang-rang yang dholim itu menolak ayat-ayat Alloh. (Al An’aam: 33)
 Adapun Murji-atul Fuqohaa’, mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwasanya iman itu adalah tashdiiqul qolbi (kepercayaan hati) dan qoulul lisaan (ucapan lisan), sedangkan perbuatan itu tidak termasuk iman. Di antara yang menganut paham ini adalah para fuqohaa’ (ahli fiqih) dan ‘ubaad (ahli ibadah) di Kufah. Pendapat mereka ini tidak sampai seperti pendapat Jahm, karena mereka tidak menganggap beriman orang yang tidak mengucapkan imannya jika dia mampu untuk mengucapkannya. Dan mereka berpendapat bahwasanya Iblis, Fir’aun dan lainnya itu adalah orang-orang kafir meskipun hati mereka tashdiiq (percaya). Akan tetapi jika mereka tidak memasukkan amalan hati ke dalam hakekat iman maka konsekuensinya sama dengan pendapat Jahm. Mereka juga berpendapat bahwasanya iman itu tidak bertambah dan berkurang dengan amalan, akan tetapi mereka berpendapat bahwasanya tambahnya iman itu terjadi sebelum syariat itu lengkap. Artinya adalah setiap kali Alloh menurunkan sebuah ayat maka wajib untuk tashdiiq (mempercayainya) lalu tashdiiq (kepercayaan) ini digabungkan dengan tashdiiq (kepercayaan) yang sebelumnya. Dengan demikian, setelah apa yang diturunkan Alloh itu lengkap, menurut mereka tidak ada tingkatan-tingkatan lagi dalam iman. Akan tetapi iman seluruh manusia itu menurut mereka sama, imannya as saabiquunal awwaluun (para pendahulu) seperti Abu Bakar dan ‘Umar itu sama dengan imannya orang-orang paling fajir seperti Al Hajjaaj, Abu Muslim Al Khuroosaaniy dan yang lainnya. (ringkasan dari Kitaabul Iimaan tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
 Sedangkan Murji-ah pada jaman sekarang ini banyak, baik yang merebak di kalangan awam maupun di kalangan orang-orang yang dianggap sebagai ahli agama ..
- Di antara paham Murji-ah yang merebak di kalangan awam adalah pendapat mereka yang masyhur di kalangan mereka yang mengatakan bahwasanya iman itu ada di dalam hati, dan mereka tidak memerdulikan atau tidak menghiraukan atau menganggap enteng atau bahkan meninggalkan amalan alasan bahwa dengan kebaikan dan kebersihan hati itu cukup.
- Adapun paham Murji-ah yang melanda orang-orang yang dianggap ahli agama atau juru dakwah yang kami bantah di dalam buku ini adalah rata-rata bukan dalam masalah definisi hakekat iman .. Karena mereka mendefinisikan hakekat iman dengan definisi yang benar. Mereka mengatakan: Iman itu adalah pengucapan dengan lisan, meyakini dengan hati dan pengamalan dengan angguta badan dan dengan rukun-rukun .. atau mereka juga mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, dan ini adalah pendapat Ahlus Sunnah mengenai iman.
Akan tetapi ketika mereka mempraktekkannya dalam realita dan dalam amaliyah, terutama dalam hal-hal yang membatalkan iman, anda akan memahami bahwasanya rukun iman yang berupa amalan yang mereka sebutkan di dalam definisi iman tersebut mereka abaikan bahkan hampir-hampir mereka gugurkan dan mereka nafikan..
Memang mereka — atau mayoritas mereka — mengatakan bahwasanya iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah. Akan tetapi semua bentuk dosa itu menurut mereka hanya dapat mengurangi kesempurnaan iman saja, dan menurut mereka tidak ada amalan yang dapat membatalkan iman. Kecuali hanya dalam satu keadaan saja yaitu ketika dibarengi dengan juhud (menolak) atau istihlaal (menghalalkan) atau i’toqood (keyakinan) secara mutlaq apapun bentuk dosa atau amalan yang dikerjakan. Padahal Rosululloh SAW telah menerangkan dalam sabdanya:
الإيمان بضع وسبعون شعبة [وفي رواية الترمذي (باباًً)] فأفضلها [وعند الترمذي (أرفعها)] قول: لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان
Iman itu mempunyai lebih dari 70 cabang [ .. dalam riwayat At Tirmidziy dengan lafadh: 70 pintu .. ] yang paling utama [ .. dalam riwayat At Tirmidziy dengan lafadh: yang paling tinggi .. ] adalah ucapan laa ilaaha illallooh dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu adalah cabang iman. (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ash-haabus Sunan dari Abu Huroiroh)
Dengan demikan tidak semua cabang itu sama, karena cabang iman yang berupa laa ilaaha illallooh itu tidak sama dengan cabang iman yang berupa rasa malu atau menyingkirkan gangguan dari jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar